Friday, March 29, 2013

Tiga Wanita dan Istri Keren.. Kisah Teladan Istri Rasulullah SAW


Pada Senin, 24 Maret 2013 saya berkesempatan menghadiri kajian muslimah oleh Ustadzah Halimah Alaydrus dari Daarut Tauhid yang dipimpin Aa Gym. Sarah Tsaqoffa, sahabat saya yang merekomendasikan untuk datang. Memang benar seperti yang ia ceritakan, penyampaian kajian ustadzah ini sangat menarik. Saya tidak merasa bosan menyimak paparannya yang begitu mengalir dan tertata. Tema hari itu adalah tentang tiga sosok istri Rasulullah SAW dan teladannya. Berikut saya tuliskan ringksan ceramahnya. Semoga Allah memudahkan dan mengizinkan kita untuk menduplikasi teladan-teladan itu pada diri kita. Aamiin. Selamat membaca ya! :D

Kisah pertama adalah tentang istri pertama Rasul SAW, syayidah Khadijah binti Khuwailid. Di masa itu, khadijah adalah perempuan terbaik yang dibesarkan oleh keluarga terhormat lagi terpandang.  Dia juga dikenal sebagai seorang wanita yang menjaga kehormatan dirinya sehingga melekatlah sebutan ath-thaahirah pada dirinya. Di zaman yang kaum perempuannya belum bisa membaca, Khadijah tampil sebagai sosok perempuan yang maju jauh melampaui zamannya; pandai membaca, berwawasan, intelektual tinggi, terpandang, dan disempurnakan dengan kepiawaiannya di bidang perniagaan. Khadijah juga merupakan wanita pertama yang membenarkan pengangkatan Muhammad SAW sebagai nabi dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sungguh pemikiran yang sudah melampaui zamannya. Dari sini kita bisa melihat bahwa betapa Allah SWT mempersiapkan wanita yang memiliki banyak keutamaan sebagai pendamping pertama Rasul.

Karakter utama dari beliau yang bisa kita pelajari adalah komitmen, kebijaksanaan dan kedewasaan. Khadijah dikenal sebagai istri yang tidak pernah berkata tidak pada perintah suaminya. Saat bercerita sesi ini ustadzah bertanya, “Coba yang sudah punya suami, berapa kali kita bilang tidak pada suami. Atau sebaliknya, lebih sering bilang tidak dibanding iya?” Sontak ruangan jadi penuh gelak tawa karena malu. :)


Salah satu fragmen hidup yang menjadi saksi kedewasaan Khadijah adalah ketika sedang  ada embargo bahan pangan bagi umat Islam. Saat itu masyarakat Mekah dilarang memberi dan melakukan transaksi dagang dengan umat Islam selama beberapa tahun. Kontan saja, kelaparan menjadi keseharian umat Islam saat itu. Untuk makan, Khadijah sampai harus mencari rumput kering di sela-sela bebatuan. Tidak bedanya seperti kambing, bukan? Apakah Khadijah mengeluh? Tidak, ia tidak pernah mengeluh. Dalam hal ini kita bisa belajar komitmen keteguhannya dalam dakwah. Konsekuensi memperjuangkan kebenaran tidak selalu berjalan mulus, seperti firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Ankabut [29]: 2 menyatakan, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”

Melihat kondisi itu, Rasul SAW merasa teriris hatinya. Betapa tidak, padahal kita tahu, sebelum menikah dengan Rasulullah, hidup Khadijah berkecukupan. Segala hal dapat ia peroleh dengan mudah. Sementara, semua kondisi berbalik ketika ia memilih berjuang dalam jalan dakwah. Suatu hari di tengah malam, tiba-tiba Rasulullah berkata pada Khadijah, “Wahai istriku, sungguh aku merasa tidak enak kepadamu.” Khadijah langsung terbangun dan menanyakan kepada Rasul, “Perihal apa ya Rasulullah?” Lalu Khadijah pun mengibur Rasulullah. Ustadzah berkelakar lagi, “Coba Ibu-ibu.., kalau istri zaman sekarang pasti bilang ‘Ihpapa, apa sih…besok aja, sudah malam nih, kaya besok ga ada waktu aja sih.” Lagi, ruangan riuh dengan tawa jamaah :D

Hal yang bisa kita teladani dari kejadian ini adalah bahwa Khadijah sebagai istri selalu serius dan fokus ketika menyimak ucapan suaminya, sekalipun dalam kondisi kelelahan. Kemanisan terhadap suami tidak hilang walau pada kondisi susah. Kalau istri-istri zaman sekarang, bisa jadi tingkat kemanisan kepada suami akan tinggi saat tanggal muda, dan semakin menurun saat tanggal tua. Benar atau benar banget? Hihihi.


Dari sedikit cerita di atas kita sudah bisa menyaksikan betapa dewasa, bijaksana, dan matangnya kepribadian Khadijah. Awal perjuangan menyebarkan Islam tidak bisa diisi oleh sosok yang biasa saja, yang cengeng dan manja ketika hinaan, cacian, dan ujian datang bertubi-tubi. Wajar saja, sampai-sampai Allah SWT menyampaikan salam langsung padanya. Kita bisa bayangkan betapa luar biasa sosok beliau, sampai-sampai Tuhannya berkirim salam langsung padanya. Subhanallah.

Aisyah binti Abu Bakar
Selanjutnya adalah kisah tentang istri ke-dua Rasululloh, Aisyah. Sosok Aisyah lebih banyak meneladani bahwa setiap perempuan harus berilmu dan pandai. Humairah, begitu panggilan kesayangan bagi Aisyah, menikah dengan Rasul ketika berumur 7  tahun. Ketika itu, hanya dilaksanakan akad nikah saja. Aisyah tinggal dengan Rasul ketika berumur 9 tahun. Ketika Aisyah belum baligh, Rasulullah memperlakukan Aisyah layaknya seorang anak. Beliau memposisikan diri sebagai kakak atau orang tua yang selalu mengayomi.

Di masa kini, sering ada anggapan bahwa menikahi anak di bawah umur adalah sunah Rasul. Padahal konteksnya sudah berbeda. Allah SWT memerintahkan Rasul menikahi Aisyah di umurnya yang belia  dengan tujuan menciptakan generasi perempuan Islam. Aisyah dipersiapkan sebagai da’iyah pertama yang siap mendidik kaum perempuan pada masa itu. Aisyah dinikahi Rasul sejak kecil agar mendapat pendidikan langsung dari Rasulullah sedari muda. Lalu, kenapa harus menikah? Pertimbangannya adalah bahwa satu-satunya mahram yang paling mungkin berinteraksi dalam segala aspek kehidupan dengan Rasulullah adalah istrinya sendiri. Siapa yang paling bisa mendidik wanita kecuali Rasul? Sebagai istri dan tinggal serumah dengan Rasul sejak kecil, Aisyah akan terpapar pada lingkungan pendidikan paling dekat dengan Rasul. Ia bisa bertanya apa saja, termasuk aspek kewanitaan, dan kapan pun pertanyaan itu terlintas. Di sini Rasul akan selalu siap menjawab dan mengarahkan sesuai perintah dan arahan Allah SWT. Dengan tinggal bersama Rasulullah, ia menjadi rujukan tentang teladan Rasulullah, terutama teladan-teladan yang ia banyak dapatkan ketika berinteraksi dengan Rasulullah di rumah, yang tidak semua orang bisa mengalaminya langsung.

Jadi, jelas bahwa kondisi saat ini tidak relevan dibandingkan kondisi Rasulullah saat itu. Pada sesi ini, ustadzah menekankan bahwa jika memang ada laki-laki yang bisa sepadan dengan Rasulullah dalam membimbing dan memberi teladan, sah-sah saja ia menikah dengan anak di bawah umur. Namun, kita bisa pastikah sosok itu tidak akan ada. Oleh sebab itu, wahai para laki-laki masa kini, nikahi saja siapa yang pantas bagimu dan jangan kau mempermalukan Islam dengan menikahi anak di bawah umur dengan kapasitasmu yang sangat terbatas itu. #CATAT YA PARA LELAKI! :D


Selain dikenal sebagai sosok yang cerdas lagi bijak, Aisyah dikenal sebagai istri yang ceria dan selalu siap menghibur Rasulullah. Banyak tingkah laku Aisyah yang mengundang senyum Rasul. Salah satunya, pada suatu hari di musim dingin, saat itu Rasul pergi keluar tanpa memakai burdahnya (burdah adalah sejenis mantel penghangat pada masa itu.red). Aisyah iseng mencoba melilitkan burdah itu sebagai jilbab di kepalanya dan menunjukkan pada Rasul ketika Rasul pulang. Manis ya? Wajar saja jika Rasul sangat sayang kepadanya.

Beberapa hal yang bisa kita teladani dari Aisyah sebagai perempuan adalah bahwa perempuan harus cerdas dan berwawasan luas serta harus bisa menjadi sosok istri yang menyenangkan bagi suaminya. Selain itu, tanpa embel-embel emansipasi pun, Allah SWT sudah memerintahkan perempuan untuk banyak belajar, setara dengan laki-laki.

Bagaimana tidak luar biasa? Tidak tanggung-tanggung, Aisyah, yang seorang perempuan dan hanya sendiri,  telah meriwayatkan sekitar ¼ dari semua ilmu fiqih Islam, sedangkan ¾ sisanya diriwayatkan oleh ribuan da’I yang merupakan laki-laki. Subhanallah, bukan? Betapa Allah SWT memuliakan perempuan ya.


Ummu Salamah     
Sosok terakhir adalah Ummu Salamah. Ummu Salamah adalah seorang janda dari salah satu sahabat Rasul, namanya Abu Salamah. Ketika kehilangan suaminya, beliau tidak berniat menikah lagi karena berpikir bagi orang sepertinya, mendapatkan Abu Salamah sebagai sosok suami adalah karunia terbaik dari Allah SWT. Ia tidak merasa pantas untuk mendapat yang lebih baik lagi dari itu. Namun, ternyata Rasul melamar beliau. Tidak serta merta, Ummu Salamah menerima lamaran itu. Ia menyampaikan kepada Rasul bahwa ia tidaklah pantas mendampingi Rasul dengan tiga alasan, yaitu 1) ia sudah tua sehingga tidak akan maksimal untuk mengurus Rasul, 2) ia memiliki banyak anak sehingga khawatir akan membebani Rasul, dan 3) ia seorang pencemburu sehingga bisa saja sifat ini memengaruhi keharmonisan rumah tangga Rasul.

Namun, Rasul membalas ketiga pernyataan itu dengan sangat bijak dan penyayang, yaitu 1) saya pun sudah tua. Jadi, mari kita habiskan masa tua bersama, #eaa 2) anak mu pun akan menjadi anakku juga, 3) aku akan minta kepada Allah SWT untuk menghilangkan sifat itu dari hatimu. Romantis ya Rasul itu? :) Akhirnya Ummu Salamah menerima pinangan Rasul. Dengan doa Rasul, sifat pencemburu Ummu Salamah pun hilang.


Ummu Salamah dikenal sebagai pribadi yang berinisiatif tinggi, bijaksana dalam menengahi perkara,  dan berpikir jauh ke depan. Dengan sifat tersebut, Rasul sering meminta pertimbangan dan masukannya jika menghadapi masalah. Pribadi bijaksana Ummu Salamah tercermin ketika ia berinisiatif mengajak istri-istri Rasul untuk berdiskusi tentang kunjungan bergilir ketika Rasul sakit. Dalam kondisi sakit, Rasul tetap adil dan memenuhi janji untuk berkunjung ke setiap istrinya dan Ummu Salamah melihat hal itu sangat memberatkan Rasul. Kemudian, Ummu Salamah mengusulkan agar istri-istri Rasul saja yang berkunjung ke satu tempat untuk bertemu Rasul. Maka pertanyaan selanjutnya, siapakah rumah istri Rasul yang menjadi tempat Rasul singgah? Tentu saja semua istri Rasul menginginkan kesempatan itu. Namun, tidak bagi Ummu Salamah. Dengan bijaksana dan berbesar hati, beliau mengusulkan rumah Aisyah sebagai tempat persinggahan karena Aisyah adalah istri yang paling disayang Rasul dan Aisyah adalah yang paling muda, sehingga dinilai memiliki fisik paling baik untuk merawat Rasul. Selain itu, rumah Aisyah paling dekat dengan masjid sehingga lebih mudah bagi Rasul untuk salat pada awal waktu di masjid. Sungguh pertimbangan yang kompeherensif dan tidak didasari emosi belaka, bukan?

Kisah lain adalah ketika Rasul merasa bingung bagaimana mengajak jamaah haji laki-laki di Mekah untuk mencukur rambut selepas berhaji. Rasul sudah menyampaikan untuk bercukur, tetapi tidak satu pun dari mereka langsung bergerak melaksanakan perintahnya. Rasul pun menceritakan pada Ummu Salamah dan dengan bijak dan solutif beliau menjawab, “Ya Rasulullah, mereka bukan tidak ingin menjalankan perintahmu. Hanya saja, mereka mungkin bertanya-tanya bagaimana cara mencukur rambut yang benar dan berharap engkau mencontohkan kepada mereka. Dengan engkau datang kepada mereka dan menunjukkan bagaimana bercukur sesuai syariat Islam, pasti mereka akan langsung melaksanakannya.” Kemudian benar yang dikatakan Ummu Salamah, semua langsung bercukur setelah Rasul mencontohkan. Begitulah Islam mencontohkan salah satu karakter wanita Muslim dari seorang Ummu Salamah bahwa seorang perempuan harus penuh dengan ide-ide dan bisa menawarkan solusi-solusi yang baik.  

Sekian sedikit kisah tentang istri-istri Rasulullah beserta teladannya.

Saya setuju dengan ungkapan ini: “Di belakang suami yang hebat, ada istri yang hebat. Apakah sebaliknya, di belakang istri yang hebat ada suami yang hebat? Belum tentu… ^^“ Tapi tentu saja pengecualian bagi Rasulullah, manusia terbaik sepanjang zaman ya.

Dengan hadirnya ketiga sosok perempuan hebat dalam sejarah Islam itu membuktikan betapa Allah SWT telah menyiapkan model perempuan masa kini begitu sangat baik melalu sosok-sosok di atas. Jika tidak ada ketiga sosok itu, entahlah mungkin kita tidak tahu harus mencontoh siapa. Wallahu’alam bissawab.

Monday, January 21, 2013

Mencari Sarjana Pertanian Indonesia


Wahai saudaraku petani, dengan istri dan anakmu,
Garis-garis wajahmu di abad 21 ini
Masih serupa dengan garis-garis wajahmu abad yang lalu..

(Kutipan puisi “Malu Aku Menatap Wajah Saudaraku Para Petani” oleh Taufik Ismail (2003))


Adalah benar yang dikatakan Pak Taufik Ismail, wajah petani kita memang tidak pernah berubah karena petani kita didominasi para lulusan SD yang puluhan tahun kemudian masih “bertahan” menjadi petani.  Seringkali juga kita mendengar anekdot ini: sarjana pertanian bisa bekerja dimana saja kecuali di sektor pertanian. Data berikut bisa bercerita kondisi tersebut yang mana saat ini sekitar 75% pekerja sektor pertanian adalah lulusan SD atau yang tidak lulus SD. Sementara itu, lulusan SMP yang menjadi petani ada 15%, 9% lulusan SMA, dan hanya 1% yang memiliki gelar sarjana [1]. Lalu kemana para sarjana pertanian? Padahal tahun 2010 jumlah mahasiswa pertanian Indonesia 173.158 orang. Dengan asumsi masa kuliah lima tahun, lulusan setiap tahun sekitar 34.000 orang. Menurut Ditjen Dikti (2010), pada tahun 2025 diperkirakan jumlah mahasiswa pertanian mencapai 5% atau sekitar 536.000 orang sehingga lulusan per tahun mencapai 100.000 orang [2]. 

Terlebih lagi, biografi kesejahteraan petani indentik dengan kemiskinan. Pada tahun 2002, dari 38,4 juta orang miskin di Indonesia; 65,4% berada di pedesaan; dan 53,9 % adalah petani. Pada tahun 2003, dari 24,3 juta rumah tangga petani yang berbasis lahan, sekitar 20,1 juta (82,7 %) diantaranya dikategorikan miskin. Dengan demikian, sebagian besar petani adalah miskin, dan sebagian besar orang miskin adalah petani [3]. 

Kondisi di atas jelas sangat disayangkan mengingat bangsa kita adalah negara agraris dan maritim. Sektor pertanian memegang peran penting dalam menyumbang pemasukan bagi negara. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan sumbangsih sektor pertanian terhadap pemasukan domestik bruto tahun 2011 sebesar 14.7%, kedua setelah sektor industri pengolahan [4]. Sektor pertanian juga menyumbang setengah dari pengurangan kemiskinan dan menjadi sektor yang bertahan saat krisis moneter 1998 [5]. 

Terkait fenomena di atas, Guru Besar IPB, Prof. Ali Khomsan, pernah berpendapat[6] bahwa sebagai pelipur lara, siapa pun boleh berdalih bahwa kuliah S1 di perguruan tinggi sebenarnya untuk mengasah nalar. Selama studi di perguruan tinggi, mahasiswa berlatih menganalisis beragam masalah sesuai dengan ilmunya, belajar berdiskusi, menulis paper, sampai meneliti. Hasilnya, sarjana yang cepat menyesuaikan diri dengan tuntutan pekerjaan. Apakah pekerjaannya sesuai atau tidak sesuai dengan latar pendidikannya, hal itu ternyata tidak menjadi persoalan.

Padahal, dalam menempuh pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri, negara memberi subsidi puluhan juta rupiah kepada setiap mahasiswa hingga menjadi sarjana. Namun, ilmu yang dipelajari akhirnya tidak dapat dimanfaatkan secara optimal karena bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan ilmu yang telah dipelajarinya di universitas. 

Bicara tentang untung rugi tentang kondisi ini, negara –termasuk petani itu sendiri di dalamnya- dan perguruan tinggi, yang paling merugi. Bukankah mereka telah mencurahkan biaya, tenaga, dan pikiran untuk mendukung pendidikan sarjana pertanian? Tapi ternyata para sarjana ini menolak ingat untuk membangun bidangnya. Ya, mahasiswa mungkin rugi juga karena sudah sulit-sulit belajar, tapi kita ini masih lebih diuntungkan karena toh para perusahaan di luar sana mengerti dan sadar bahwa sarjana ini hanya perlu dibekali sedikit lagi agar sesuai dengan dunia kerja pilihannya, yang penting sarjana.  


Menakar idealisme sarjana pertanian, menolong mereka yang pragmatis
Mengapa sarjana pertanian penting membangun sektornya? Karena kitalah yang memiliki kapasitas itu, kita yang memiliki ilmunya. Dengan keilmuannya, seyogyanya lulusan pertanian mempunyai peran strategis membangun bidangnya. Mantan menteri pertanian Indonesia, Pak Anton Apriyantono pernah berkata: “Jangan pernah bermimpi pertanian Indonesia akan maju, selama pembangunan pertanian masih kalian serahkan kepada petani yang hanya lulusan SD.” Dengan kenyataan di atas seharusnya telah memberikan cukup alasan agar pragmatisme sarjana pertanian harus dapat diubah. Ah, lagi-lagi ini terlalu idealis. Kalau begitu, mari kita lebih realistis. 

Idealisme dan pragmatisme muncul sebagai reaksi terhadap realitas. Para idealis memilih mempertahankan pandangannya meski kadang dikatakan suka melawan realitas. sementara para pragmatis lebih memilih mencari jalan aman. Para pragmatis bisa jadi menilai para idealis mirip sebagai voluntir yang tidak realistis dan harus siap hidup miskin. Kaitannya dengan pertanian, apakah benar demikian? Apakah dua kubu ini bisa dipertemukan? Dalam hal memperbaiki kesejahteraan petani, saya pikir mungkin.

Mari berpikir positif, saya yakin mereka para lulusan pertanian yang pragmatis bukan tidak peduli sama sekali dengan pertanian. Mereka hanya tidak mampu bertahan dan tidak tahu harus berbuat apa. Maka, obat bagi para pragmatis adalah dengan ide dan sistem. Di sinilah peran para idealis yang masih berjuang untuk menolong para pragmatis. Dengan keoptimisan dan ‘kebandelan’ para idealis dalam berjuang, para idealis bisa menjadi penggerak para pragmatis. 

Menurut saya, program swadaya Indonesia Mengajar yang dirintis oleh Anies Baswedan telah menjadi bukti bagaimana idealisme bisa menggerakkan pragmatisme. Coba Anda bayangkan, sebelumnya berapa banyak sarjana yang mau ke pulau terluar untuk menjadi guru dan hidup bersusah-susah? Sedikit sekali. Tapi dalam kurun 3 tahun Indonesia Mengajar mampu mengundang 20.000 ribu sarjana Indonesia untuk berebut mengambil peran di pulau terluar[7]. Kemudian untuk profesi yang lebih spesifik juga ada Pencerah Nusantara yang mengirimkan dokter-dokter muda terbaik Indonesia untuk mengabdi di pulau terluar. Saya yakin, yang tadinya pragmatis pun juga ikut tergugah ikut program ini. 

Kalau saya cermati, pola yang sama yang saya lihat dari dua program di atas adalah mereka bisa mengemas suatu gagasan yang idealis menjadi program yang bisa menarik perhatian banyak orang. Pada dasarnya yang mereka tawarkan adalah profesi voluntir dengan masa kerja satu tahun saja. Setelah itu, voluntir selanjutnya akan diganti oleh voluntir selanjutnya melalui program perekrutan berkala setiap tahun. Jadi, para voluntir ini bisa tetap berkarya sesuai cita-cita karirnya tanpa mengganggu keberlanjutan tenaga pengajar di daerah penempatan. Dengan pengelolaan dana masyarakat, penyelenggara kegiatan juga bisa menjamin kesejahteraan hidup para voluntir dan karena dananya swadaya dari masyarakat –minim campur tangan pemerintah- saya yakin transparansi dana bisa berjalan baik dan lebih profesional. Jadi, dengan sistem ini, profesi yang idealis bisa tetap bernilai dan memikat, dan realistis.   

Dari contoh di atas kita bisa belajar bahwa jalan memperjuangkan nilai dan cita-cita ideal dengan menjadi pejuang di jalan sunyi atau berjuang sendiri dengan mengabdi itu sudah tidak relevan. Kembangkan ide, bangun komunitas, bangun sistem, dan kelola dana masyarakat.  Inilah kekuatan sinergi dan ini akan lebih menggerakkan. Di sini para idealis sarjana pertanian bisa berhimpun mengambil peran sebagai penggerak untuk membuat program serupa. Dengan program ini kita bisa membantu mengisi kekosongan tenaga pertanian di daerah. Mereka yang pragmatis dapat diundang untuk bergabung, mulai dari sebagai tenaga voluntir, sampai donasi atau bantuan jaringan. Seminim apapun, ajak mereka bergerak. Saya yakin di lubuk hati mereka yang terdalam masih ada keresahan terhadap kondisi pertanian Indonesia dan jika diajak bergabung, mereka pasti mau membantu. Sehingga, bukan tidak mungkin di masa yang mendatang pragmatisme sarjana pertanian bisa dikurangi.

Selain itu, kesadaran personal ini harus didukung banyak pihak, termasuk institusi pendidikan. Misalnya, universitas mempunyai peran penting dalam hal memotivasi lulusannya untuk bekerja sesuai bidangnya, misalnya seperti ECC UGM yang merupakan pusat informasi dan pengembangan karir di bawah Fakultas Teknik UGM. Perbaikan di segala sektor tetap dibutuhkan seperti kaitannya dengan kebijakan pemerintah, kurikulum pertanian, dan sistem pendidikan. Tanpa dukungan banyak pihak, idealisme ini akan lebih mudah goyah.

Melawan realitas itu memang sulit jika sendiri, akan tetapi kumpulan para idealis bisa saling melengkapi dan bergerak mensolusikan pragmatisme. Agar kau bisa tetap lantang berkata seperti Soe Hok Gie, "Saya sudah lama memutuskan harus menjadi idealis sampai batas sejauh-jauhnya." Saya optimis idealisme dan realitas bukan selalu untuk dibenturkan, mereka masih bisa dipertemukan. Pertanian Indonesia masih punya harapan.